Rabu, 29 Mei 2013

Kita bukan pengikut Nietzce !

Barangsiapa meninggalkan ucapan yang tidak perlu, maka dia akan diberi hikmah. Begitulah kalimat Umar Bin Khattab. Sederhana, tapi tidak mudah untuk diaplikasikan. Terkadang kita memang lebih suka memperkerjakan lisan daripada kedua telinga. Kita lebih suka berbicara daripada mendengarkan. Memang, Berbicara itu menyenangkan!
Ada banyak peristiwa di sekitar kita, bermula dari ucapan. Perselisihan, salah paham, perbedaan dan beragam peristiwa lain. Karena begitulah hidup, beragam, terdiri dari berbagai macam sifat, tidak mungkin kalau harus memaksakan kehendak hanya untuk sama.
Pada banyak peristiwa itu, peran yang seharusnya dimainkan oleh manusia adalah tidak menjadikan kerikil menjadi sebuah batu besar, apalagi membuatnya nampak seperti gunung. Perselisihan kecil, tak perlu dibesar-besarkan. Perbedaan besar, jangan pula diapi-api sehingga membakar.
Tapi kadang, kita memang sering tergoda untuk berlebihan. Dan bisa jadi saya sendiri sering terjebak dan lalai, melakukannya.
Sekali lagi, Berbicara memang menyenangkan, terlebih bila dibumbui dengan ketidak benaran. Mungkin itulah yang terjadi pada kehidupan kita sekarang, kebohongan merebak dimana-mana. Begitulah yang terjadi bila masyarakat dibiarkan belajar kepada selain Islam, seperti kata Frederich Nietzche, dia mengatakan, bagaimanapun kebohongan adalah sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan. “Lies are necessary to life,” begitu kata Nietzche.
Tetapi, kita harus tegaskan pada diri kita bahwa Kaum Muslim itu tak mengikuti Nietzche, Kita bukan pengikut Nietzce!
Mari mengingat kisah tentang Ka’ab bin Malik yang tak turut dalam perang Tabuk. Dalam kitab Riyadhus Shalihin diriwayatkan, Ka’ab sendiri berkata, “Aku tak pernah menemukan diriku sesiap ini, aku tidak pernah menemukan diriku sekuat ini.” Ia merasa sangat siap dan kuat untuk berangkat ke perang Tabuk. Tapi perjalanan perang itu ia tunda-tunda, dan akhirnya ia batal untuk bergabung dengan pasukan Muslimin lainnya.
Ketika Rasulullah dalam perjalanan pulang ke Madinah, hatinya berdebar-debar. Mempersiapkan alasan-alasan yang akan ia jadikan hujjah mengapa tak turut berjuang di jalan mulia. Segala alasan telah ia kumpulkan, “Aku adalah lelaki dengan lidah yang tajam. Niscaya jika aku kemukakan alasan, Rasulullah akan menerimanya.” Persiapan kebohongan itu, ternyata tidak membuatnya bahagia. Akhirnya Ka’ab berterus terang, ia tak punya alasan ketika tak turut berperang.
Andai saja ia dusta, tentu ia tak dihukum demikian rupa. Selama berhari-hari ia dikucilkan, bahkan oleh istrinya sendiri. Tatapan matanya tak pernah bertemu dengan tatapan mata Rasulullah, lelaki yang paling dicintainya. Salamnya tak pernah dibalas oleh penduduk Madinah. Bumi yang luas, ia rasakan menjadi sempit menghimpit. Itulah yang harus dibayar untuk sebuah kejujuran.
Tapi ketika firman Allah turun, “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. at Taubah:118)
Ka’ab belum pernah merasakan hatinya bahagia, seperti kebahagiaannya saat ayat ini diturunkan sebagai tanda penerimaan atas taubatnya.
Apakah kita akan menukar ridha Allah dengan ucapan yang terus kita ada-adakan dalam kehidupan kita? Mungkin saat ini kita bahagia, tapi tak akan ada manusia yang mampu menipu dirinya sendiri, terlebih menutupi kebohongannya di depan Allah Subhanahuwata’ala.

Ustadzah Rukoyyah
(Guru Kuttab Al-Fatih Depok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar